Lembaga Perekonomian Umat
(makalah) BPRS Bank Perkreditan Rakyat Syariah- Sejarah berdiri, Landasan, Produk, Kendala dan Strategi
Disusun Oleh :
Muhammad Sodiki
Prodi Hukum Ekonomi Syariah
UNISKA Banjarmasin
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peranan
bank dewasa ini sangat dominan dalam perekonomian masyarakat di Indonesia pada
umumnya. Hampir setiap kegiatan perekonomian masyarakat tidak terlepas dari peran bank maupun lembaga
keuangan lainnya diluar bank. Dalam menjalankan aktifitasnya, bank menawarkan
berbagai produk yang berisi kegiatan pendukung perekonomian masyarakat, mulai
dari jasa menabungkan uang masyarakat, pengiriman uang atau jasa-jasa yang
lainnya intinya mempermudah masyarakat melakukan aktifitas bisnis dan
perekonomian sehari-hari. Karena sebagian besar Bank Konvensional dan Syariah
hanya mencakup untuk kalangan masyarakat atas dan menengah keatas, dengan salah
satu penyebabnya adalah letak dari tempat bank tersebut, yakni hanya ada di perkotaan
saja, sehingga orang-orang yang ada di pedesaan ataupun kecamatan kurang bisa
menjangkau.
Sehingga
untuk merangkul masyarakat ekonomi lemah, maka pemerintah mengatur untuk
didirikannya Bank Perkreditan Rakyat di tingkat kecamatan, dan desa. Yang bertujuan
agar semakin meratanya pelayanan keuangan bagi seluruh masyarakat.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana
pengertian, dasar pemikiran, dan sejarah berdirinya Bank Perkreditan
Rakyat Syariah?
- Bagaimana
tujuan, strategi, dan usaha-usaha BPR Syariah?
- Apa
kendala dan strategi pengembangan BPR Syariah?
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian, Dasar Pemikiran, dan Sejarah
Berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syariah
1. Pengertian
Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
menurut Undang-Undang (UU) Perbankan No.7 Tahun 1992 pasal 1 ayat 3, adalah
lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito
berjangka tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan
menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Sedangkan pada UU Perbankan No.10 Tahun
1998 pasal 1 ayat 4, disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang
melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah.[1]
Pelaksanaan BPR yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selanjutnya diatur menurut Surat
Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/1998 tanggal 12 Mei 1999
tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini,
secara teknis BPR syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana
BPR konvensional, yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah.[2]
2. Dasar
Pemikiran Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Berdirinya BPR Syariah di
Indonesia selain didasari oleh tuntutan bermuamalah secara Islam yang merupakan
keinginan kuat dari sebagian besar umat Islam di Indonesia, juga sebagai
langkah aktif dalam rangka restrukturisasi perekonomian Indonesia yang
dituangkan dalam berbagai paket kebijaksanaan keuangan, moneter, perbankan
secara umum. Secara khusus adalah mengisi peluang terhadap kebijaksanaan yang
membebaskan bank dalam penetapan tingkat suku bunga (Rate Interest), yang
kemudian dikenal dengan bank tanpa bunga.[3]
3. Sejarah
Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Status hukum BPR diakui pertama
kali dalam Pakto tanggal 27 Oktober 1988, sebagai Paket Kebijakan Keuangan,
Moneter, dan Perbankan. Secara historis, BPR adalah penjelmaan dari banyak
lembaga keuangan, seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai
Lumbung Pilih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa
(BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga
Perkreditan Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga
Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD) dan atau lembaga
lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Sejak dikeluarkannya UU No.7 tahun
1992 tentang Pokok Perbankan, keberadaan lembaga-lembaga keuangan tersebut
diperjelas melalui ijin dari Menteri Keuangan.
Berdirinya BPR syariah tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh berdirinya lembaga-lembaga keuangan sebagaimana
disebutkan di atas. Lebih jelasnya keberadaan lembaga keuangan tersebut
dipertegaas munculnya pemikiran untuk mendirikan bank syariah pada di tingkat
nasional. Bank syariah yang dimaksud adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang
berdiri tahun 1992. Namun jangkauan BMI terbatas pada wilayah-wilayah tertentu,
misalnya di kabupaten, kecamatan dan desa. Oleh karenanya peran BPR syariah
diperlukan untuk menangani masalah keuangan masyarakat di wilayah-wilayah
tertentu.
Sebagai langkah awal, ditetapkan
tiga lokasi berdirinya BPR syariah. Ketiga BPR syariah tersebut adalah:
1)
PT.
BPR Dana Mardhatillah, kec. Margahayu, Bandung.
2)
PT.
BPR Berkah Amal Sejahtera, kec. Padalarang, Bandung.
3)
PT.
BPR Amanah Rabbaniyah, kec. Banjaran, Bandung.
Tanggal 8 Oktober 1990, ketiga
BPR syariah tersebut telah mendapatkan ijin prinsip dari Menteri keuangan RI.
Selanjutnya, dengan technical assistance dari Bank Bukopin cabang Bandung yang
memperlancar penyelenggaraan pelatihan dan pertemuan para pakar perbankan, pada
tanggal 25 Juli 1991, BPR Dana Marhatillah, BPR Berkah Amal Sejahtera, dan BPR
Amanah Rabbaniyah tersebut masing-masing mendapatkan ijin usaha dari Menteri
Keuangan RI.
Untuk mempercepat proses
berdirinya BPR-BPR syariah yang lain dibentuklah lembaga-lembaga penunjang,
antara lain:
1.
Institute
for Syariah Economic Development (ISED)
ISED
bertugas melaksanakn program pendidikan atau pemberian bantuan teknis pendirian
BPR syariah di Indonesia, khusunya di daerah-daerah berpotensi. Hasil yang
telah dicapai ISED, antara lain:
- BPR
Harcukat di propinsi Aceh
- BPR
Amanah Umah, kec. Leuweliang, Bogor
- BPR
Pembanguan Cikajang Raya, kec. Cikajang, Garut
- BPR
Bina Amwalul Hasanah, kec. Sawangan, Bogor
2.
Yayasan
Pendidikan dan Pengembangan Bank Syariah (YPPBS)
YPPBS
membantu perkembangan BPR syariah di Indonesia dengan melakukan
kegiatan-kegiatan:
- Pendidikan,
baik tingkat dasar untum sarjana baru maupun tingkat menengah untuk para
praktisi yang berpengalaman minimal 2 tahun diperbankan.
- Membantu
proses pendirian dan memberikan technical assistance.[4]
B. Tujuan, Strategi, dan Usaha-Usaha BPR
Syariah
- Tujuan BPR Syari’ah
Adapun tujuan yang dikehendaki
dengan berdirinya BBPR syariah adalah:
a.
Meningkatkan
kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah
yang pada umumnya berada di daerah pedesaan.
b.
Menambah
lapangan kerja terutama ditingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus
urbanisasi.
c.
Membina
semangat ukhuwah islamiyyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan
pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai.
- Strategi operasional BPR
Syari’ah
Untuk mencapai tujuan operasionalisasi BPR syariah
sebagai berikut:
a.
BPR
syariah tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas,
melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi atau penelitian kepada
usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga
memiliki prospek bisnis yang baik.
b.
BPR
syariah memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan
mengumatakan usaha skala menengah dan kecil.
c.
BPR
syariah mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya
produk yang akan diberi pembiayaan.[5]
- Usaha-usaha BPR Syariah
Pada dasarnya, sebagai lembaga keuangan syariah BPR
syariah dapat memberikan jasa-jasa keuangan yang serupa dengan bank-bank umum
syariah, dalam usaha pengerahan dana masyarakat, BPR syariah dapat memberikan
jasa-jasa keuangan dalam berbagai bentuk, antara lain:
- Simpanan Amanah
Disebut dengan simpanan Amanah, sebab dalam hal bank
penerima titipan amanah (truste account) dari nasabah. Disebut dengan titipan
amanah karena bentuk perjanjian adalah wadiah, yaitu titipan yang tidak
menanggung resiko. Namun demikian, bank akan memberikan bonus dari bagi hasil
keuntungan yang diperoleh bank melalui pembiayaaan kepada nasabahnya.
b. Tabungan Wadiah
Dalam tabungan ini bank menerima tabungan (saving
account) dari nasabah dalam bentuk tabungan bebas. Sedangkan akad yang diikat
oleh bank dengan nasabah dalam bentuk wadiah. Titipan nasabah tersebut tidak
menanggung resiko kerugian, dan bank memberikan bonus kepada nasabah. Bonus itu
diperoleh bank dari bagi hasil dan kegiatan pembiayaan kredit kepada nasabah
lainnya. Bonus tabungan wadiah itu dapat diperhitungkan secara harian dan dibayarkan
kepada nasabah pada setiap bulannya.
c. Deposito Wadiah Mudharabah
Dalam produk bank ini bank menerima deposito
berjangka (time and investment account) dari nasabahnya. Akad yang dilakukan
dapat berbentuk wadiah dan dapat pula berbentuk mudharabah.
Lazimnya jangka waktu deposito itu adalah 1, 2, 6,
12 bulan dan seterusnya sebagai bentuk penyertaan modal (sementara). Maka
nasabah/deposan mendapat bonus keuntungan dan bagi hasil yang diperoleh bank
dari pembiayaan/kredit yang dilakukannya kepada nasabah-nasabah lainnya.
Fasilitas
pengerahan dana tersebut, juga dapat digunakan untuk menitipkan sedekah, infak,
zakat, tabungan haji, tabungan kurban, tabungan aqiqah, tabungan keperluan
pendidikan, tabungan pemilikan kendaraan, tabungan pemilikan rumah, bahkan bisa
digunakan untuk sarana penitipan dana-dana masjid, dana pesantren, yayasan dan
lain sebagainya.
Selain
melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas, BPR syariah dapat pula
bertindak sebagai lembaga baitul maal, yaitu menerima dana yang berasal dari
zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah atau dana social lainnya dan
menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman
kebajikan (qardhul hasan).
Sementara, dalam menyalurkan dana
masyarakat BPR syariah dapat memberikan jasa-jasa keuangan seperti:
1. Pembiayaan Mudharabah
Dalam
pembiayaan mudharabah bank mengadakan akad dengan nasabah (pengusaha). Bank
menyediakan pembiayaan modal usaha bbagi proyek yang dikelola oleh pengusaha.
Keuntungan yang diperoleh akan dibagi (perjanjian bagi hasil) sesuai dengan
kesepakatan yang telah diikat oleh bank dan pengusaha tersebut.
2. Pembiayaan Musyarakah
Dalam
pembiayaan musyarakah ini bank dengan pengusaha mengadakan perjanjian. Bank dan
pengusaha berjanji bersama-sama membiayai suatu proyek yang juga dikelola
secara bersama-sama. Keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut akan dibagi
sesuai dengan penyertaan masing-masing pihak.
3. Pembiayaan Bai’ Bithaman Ajil
Dalam
bentuk pembiayaan ini, bank mengikat perjanjian dengan nasabah. Bank
menyediakan dana untuk pembelian sesuatu barang/aset yang dibutuhkan oleh
nasabah guna mendukung usaha atau proyek yang sedang diusahakan.
Namun begitu, sesuai UU Perbankan
No. 10 tahun 1998, BPR syariah hanya dapat melaksanakan usaha-usaha sebagai
berikut:
- Menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
- Memberikan kredit.
- Menyediakan pembiayaan dan
penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
- Menetapkan dananya dalam
bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, sertifikat deposito,
dan atau tabungan pada bank lain.
Pembatasan usaha BPR syariah
lebih tegas dijelaskan dalam pasal 27 SK Direktur BI No. 32/36/KEP/DIR/1999.
Menurut surat keputusan ini, kegiatan operasional BPR syariah adalah:
1.
Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:
a)
Tabungan
berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah.
b)
Deposito
berjangka berdasarkan prinsip mudharabah.
c) Bentuk lain yang menggunakan
prinsip wadiah atau mudharabah.
2. Melakukan penyaluran dana melalui:
a)
Transaksi
jual beli berdasarkan prinsip: Murabahah,
Istishna, Ijarah, Salam,jual-beli lainnya.
b)
Pembiayaan
bagi hasil berdasarkan prinsip: Mudharabah,Musyarakah,
bagi hasil lainnya.
c) Pembiayaan lain berdasarkan
prinsip: Rahn dan Qardh
3. Melakukan kegiatan lain yang
lazim dilakukan BPR syariah sepanjang disetujui oleh DSN.
Dibanding
bank umum syariah, kegiatan operasional yang dapat dilakukan BPR syariah lebih
terbatas. Sebagaimana diatur dalam SK Direktur BI No. 32/36/KEP/DIR/1999, BPR
syariah tidak diijinkan untuk menerima dana simpanan dalam bentuk giro
sekalipun hal itu dilakukan dalam bentuk wadiah. Begitu juga, BPR syariah dilarang
untuk:
1. Melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing
2. Melakukan penyertaan modal
3. Melakukan usaha
perasuransian[6]
C. Kendala dan Strategi Pengembangan BPR
Syariah
Dalam
prakteknya BPR syariah mengalami berbagai kendala, kendala tersebut diantaranya
adalah:
1.
Kiprah
BPR syariah kurang dikenal masyarakat sebagai BPR yang berprinsipkan syariah,
bahkan beberpa pihak menganggap BPR syariah sama dengan BPR konvensional. Oleh
karena itu, BPR syriah perlu menegaskan dan meneguhkan identitasnya sebagai BPR
yang menggunakan prinsip-prinsip syariah.
2.
Upaya
untuk meningkatkan profesionalitas kadang terhalang rendahnya sumber daya yang
dimiliki oleh BPR syariah sehingga sehingga profesionalitas kadang terhalang
rendahnya sumber daya yang dimiliki oleh BPR syariah sehingga proses BPR
syariah dalam melakukan aktivitasnya cenderung lambat dan respon terhadap
permasalahan ekonomi rendah. Maka upaya untuk meningkatkan SDM perlu diarahkan
disemua posisi, baik diposisi pemegang kebijakan atau berposisi di lapangan.
3.
Kurang
adanya koordinasi di antara BPR syariah, demikian juga dengan bank syariah dan
BMT, sebagai lembaga keuangan yang mempunyai tujuan syiar Islam tentunya
langkah koordinasi dalam rangka mendapatkan strategi yang terpadu dapat
dilakukan guna mengangkat ekonomi masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan
framework yang bisa dijadikan acuan di antara lembaga keuangan ditingkat
kabupaten, kecamatan, desa ataupun pasar dalam melangsungkan aktivitasnya tanpa
mengesampingkan keberadaan lembaga keuangan lain.
4.
Sebagai
lembaga keuangan yang memiliki konsep Islam tentunya juga bertanggung jjawab
terhadap nilai-nilai keislaman masyarakat yang ada disekitar BPR syariah
tersebut. Aktivitas BPR syariah di bidang keuangan sering kali tidakk
“menyisakan” waktu untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan syiar
Islam, artinya aktivitad keuangan BPR syariah termasuk syiar Islam di bidang
keuangan, tetapi aktivitas keislaman yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat secara umum perlu juga diperhatikan. BPR syariah perlu memprakarsai
terbentuknya majelis-majelis taklim dan semacamnya.
5.
Nama
Bank Perkreditan Rakyat Syariah, masih menyisakan kesan sistem BPR syariah
menggunakan sistem BPR konvensional. Kata “perkreditan” tidak ada dalam
terminology bank dan lembaga kaeuangan syariah. Oleh karenanya, baik kiranya
nama BPR syariah diganti.
Adapun strategi pengembangan BPR
syariah yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1.
Langkah-langkah
untuk mensosialisasikan keberadaan BPR syariah, bukan saja produknya tetapi
sistem yang digunakannya perlu diperhatikan. Upaya ini dapat dilakukan melalui
BPR syariah sendiri dengan menggunakan strategi pemasaran yang halal, seperti;
melalui informasi mengenai BPR syariah di media-media masa. Hal ini yang
ditempuh adalah perlunya kerjasama BPR syariah dengan lembaga pendidikan atau
non pendidikan yang mempunyai relevansi dengan visi dan misi BPR syariah untuk
mensosialisasikan keberadaan BPR syariah.
2.
Usaha-usaha
untuk meningkatkan kualitas SDM dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan mengenai
lembaga keuangan syariah serta lingkungan yang mempengaruhinya. Untuk itu
diperlukan kerjasama di antara BPR syariah atau kerjasama BPR syariah dengan
lembaga pendidikan untuk membuka pusat pendidikan lembaga keuangan syariah atau
kursus pendek (shortcourse) lembaga keuangan syariah. Pusat pendidikan dan
shortcourse tersebut memiliki tujuan untuk menyediakan SDM yang siap kerja di
lembaga keungan syariah, khusus BPR syariah.
3.
Melalui
pemetaan potensi dan optimasi ekonomi daerah akan diketahui berapa besar
kemampuan BPR syariah dan lembaga keuangan syariah yang lain dalam mengelola
sumber-sumber ekonomi yang ada. Dengan cara itu pula dapat dilihat
kesinambungan kerja di antara BPR syariah, demikian juga kesinambungan kerja
BPR syariah dengan bank syariah dan BMT. Sehingga hal ini akan meningkatkan
koordinasi di antara lembaga keuangan syariah.
4. BPR syariah bertanggung jawab
terhadap masalah keislaman masyarakat dimana BPR syariah tersebut berada. Maka
perlu dilakukan kegiatan rutin keagamaan dengan tujuan meningkatkan kesadaran
akan peran Islam dalam bidang ekonomi. Demikian jga dengan pola ini dapat
membantu BPR syariah dalam mengetahui gejala-gejala ekonomi-sosial yang ada di
masyarakat. Hal ini akan menjadikan kebijakan BPR syariah di bidang keuangan lebih
sesuai dengan kondisi masyarakat (marketable).[9]
BAB
III PENUTUP
A.
KESIMPULAN
- BPR
syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR
konvensional, yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah.
- Berdirinya
BPR Syariah di Indonesia selain didasari oleh tuntutan bermuamalah secara
Islam yang merupakan keinginan kuat dari sebagian besar umat Islam di
Indonesia, juga sebagai langkah aktif dalam rangka restrukturisasi
perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai paket kebijaksanaan
keuangan, moneter, perbankan secara umum.
- Status
hukum BPR diakui pertama kali dalam Pakto tanggal 27 Oktober 1988, sebagai
Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan Perbankan.
- Tujuan
BPR Syari’ah adalah meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam, menambah
lapangan, membina semangat ukhuwah islamiyyah melalui kegiatan ekonomi.
- Dalam
mendirikan BPR syariah harus mengacu pada bentuk hukum BPR syariah yang
telah ditentukan dalam UU Perbankan.
B.
SARAN
Demikian
makalah ini kami susun. Apabila ada kesalahan dalam menyusun makalah kami mohon
maaf. Kritik dan saran sangat kami butuhkan agar kami apat menyusun makalah
lebih baik. Harapan kami, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
C.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin
S, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia,
UII Press, Yogyakarta, 2008.
Ahmad
Supriadi, Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah, STAIN Kudus, Kudus, 2008.
Heri
Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan
Syariah (Deskripsi dan Ilustrasi), EKONISIA, Yogyakarta, 2003.
Warkum
Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan
Lembaga-Lembaga Terkait (BMUI &TAKAFUL) di Indonesia, PT RajaGrafido
Persada, Jakarta, 1996.
[1] Burhanuddin S, Hukum Perbankan
Syariah di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 179.
[2] Ahmad Supriadi, Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah, STAIN Kudus, Kudus, 2008, hlm. 64.
[3] Warkum Sumitro, Asas-Asas
Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BMUI &TAKAFUL) di Indonesia,
PT RajaGrafido Persada, Jakarta, 1996, hlm. 111.
[4] Heri Sudarsono, Bank &
Lembaga Keuangan Syariah (Deskripsi dan Ilustrasi), EKONISIA, Yogyakarta, 2003,
hlm. 83-85.
[5] Warkum Sumitro., Op.Cit., hlm.
111-112.
[6] Heri Sudarsono, Op.Cit.,
hlm.85-88.
[7] Ahmad Supriadi, Op.Cit., hlm.
72-75.
[8] Ibid., hlm. 75-77.
[9] Heri Sudarsono, Op., Cit, hlm.
92-94.
Post a Comment
0 Comments