( makalah ) Pengertian perjanjian kerja dan macam perjanjian kerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan


Disusun Oleh :
Muhammad Sodiki 14.50.0021
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
UNISKA BANJARMASIN


 1. Pengertian Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda adalah Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601 a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut :
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak ke-1 (satu)/buruh atau pekerja mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian yakni :
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak”.

Selain pengertian normatif diatas, Iman Soepomo (53 : 1983) berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah.

Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata, bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah” adanya di bawah perintah pihak lain” sehingga tampak hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi).

Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum, karena menunjuk hubungan antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.

Perjanjian kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak menyebutkan bentuk perjanjian kerja itu lisan atau tertulis, demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaimana sebelumnya diatur dalam UU No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan.

2.       Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja

Berdasarkan pengertian perjanjian kerja diatas, dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja, yakni :

a.    Adanya Unsur Work atau Pekerjaan

Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal 1603 a yang berbunyi :
“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikania dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya’.
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan ketrampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.

b.   Adanya Unsur Perintah

Manifestasi  dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya.

c.    Adanya Unsur Upah

Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama orang bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja.  

3.       Syarat Sahnya Perjanjian Kerja


Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan juga pada  Pasal 1 angka 14 Jo Pasal 52 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, definisi perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Dalam Pasal 52 ayat 1 menyebutkan bahwa :
1)   Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
  • kesepakatan kedua belah pihak;
  • kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
  • adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
  • pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)   Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
3)   Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya, bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan.

Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian harus haruslah cakap membuat perjanjian (tidak terganggu kejiwaan/waras) ataupun cukup umur minimal 18 Tahun (Pasal 1 angka 26 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 KUHPerdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian. Objek perjanjian haruslah yang halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian.

4.       Bentuk dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/ atau tertulis (Pasal 51 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian.

Dalam Pasal 54 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya membuat keterangan :
a.         Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;
b.        Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh;
c.         Jabatan atau jenis pekerjaan;
d.        Tempat pekerjaan;
e.         Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f.         Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g.        Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h.        Tempat dan tanggal perjanjian dibuat; dan
i.          Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Berdasarkan Pasal 56 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, terdapat 2 (dua) jenis perjanjian kerja, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”).

a.        Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Menurut Pasal 56 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaanperjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu dan untuk waktu tidak tertentu. Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaanmengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu.

Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis (Pasal 57 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak dinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. 

Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai kinerja, kesungguhan dan keahlian seorang pekerja. Lama masa percobaan adalah 3 (tiga) bulan, dalam masa percobaan pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja secara sepihak. Ketentuan yang tidak membolehkan adanya masa percobaan dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu karena perjanjian kerja berlansung relatif singkat. Dalam hal ini pengusaha dilarang membayar upah dibawah upah minimum yang berlaku.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 100/2004”), pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara selanjutnya disebut Kepmen 100/2004. Pengertian tersebut sependapat dengan pendapat Prof. Payaman Simanjuntakbahwa PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang relatif pendek yang jangka waktunya paling lama 2 tahun,dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sama dengan waktu perjanjian kerja pertama, dengan ketentuan seluruh (masa) perjanjian tidak boleh melebihi tiga tahun lamanya. Lebih lanjut dikatakan, bahwa PKWT dibuat untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, maka hanya dapat diperpanjang satu kali denan jankga waktu (perpanjangan) maksimum 1 (satu) tahun. Jika PKWT dibuat untuk 1 1/2 tahun, maka dapat diperpanjang 1/2 tahun.
Demikian juga apabila PKWT untuk 2 tahun, hanya dapat diperpanjang 1 tahun sehingga seluruhnya maksimum 3 tahun . PKWT adalah perjanjian bersayarat, yakni (antara lain) dipersyaratkan bahwa harus dibuat tertulis dan dibuat dalam bahasa Indonesia, dengan ancaman bahwa apabila tidak dibuat secara tertulis dan tidak dibuat dengan bahasa Indonesia, maka dinyatakan (dianggap) sebagai PKWTT (pasal 57 ayat (2) UUK).

Dalam Pasal 59 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (kontrak) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yakni :
  1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
  2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
  3. Pekerjaan yang bersifat musiman; dan
  4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

b.             Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”)

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 100/2004”), pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.

PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha dengan pekerja) adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU Ketenagakerjaan.

PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Selama masa percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku.

Menurut Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah menjadi PKWTT, apabila:
  1. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
  2. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
  3. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan;
  4. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut;
  5. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka (1), angka (2), angka (3) dan angka (4), maka hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan bagi PKWTT.

5.       Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja

a.        Kewajiban Buruh/Pekerja

Dalam KUHPerdata ketentuan mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam Pasal 1603, 1603a, 1603b dan 1603c yang pada intinya adalah sebagai berikut:
  1. Buruh/Pekerja wajib melakukan pekerjaan; melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin pengusaha dapat diwakilkan.
  2. Buruh/Pekerja wajib menaati peraturan dan petunjuk majikan/pengusaha; dalam melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga menjadi lebih jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut.
  3. Kewajiban membayar ganti rugi dan denda; jika buruh/pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaanbaik karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuatu dengan prinsip hukum pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda”.
b.        Kewajiban Pengusaha
  1. Kewajiban membayar upah; dalam hubungan kerja kewajiban utama pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjanya secara tepat waktu. Ketentuan tentang upah ini juga telah mengalami perubahan pengaturan ke arah hukum publik dengan adanya campur tangan Pemerintah dalam menetapkan besarnya upah terendah yang harus dibayar pengusaha yang dikenal dengan upah minimum, maupun pengaturan upah dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981Tentang Perlindungan Upah.
  2. Kewajiban memberikan istrahat/cuti; pihak majikan/ pengusaha diwajibkan untuk memberikan istrahat tahunan kepada pekerja secara teratur. Cuti tahunan lamanya 12(dua belas) hari kerja. Selain itu pekerja juga berhak atas cuti panjang selama 2 (dua) bulan setelah bekerja terus-menerus selama 6 (enam) bulan pada suatu perusahaan(Pasal 79 ayat 2 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
  3. Kewajiban mengurus perawatan dan pengibatan; majikan/pengusaha wajib mengurus perawatan/pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan (Pasal 1602xKUHPerdata). Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak hanya terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan. Perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit, kecelakaan, dan kematian telah dijamin melalui perlindingan Jamsostek  sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek dan sekarang telah dirubah menjadi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANGBADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL.
  4. Kewajiban memberikan surat keterangan; kewajiban ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1602a KUHPerdata yang menentukan bahwa majikan/pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tanda tangan. Dalam surat keterangan tersebut dijelaskan mengenai sifat pekerjaan yang dilakukan, lamanya hubungan kerja (masa kerja). Surat keterangan itu juga diberikan meskipu inisiatif PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) datangnya dari pihak pekerja. Surat keterangan tersebut sebagai bekal pekerja dalam mencari pekerjaan baru, sehingga dia diperlakukan sesuai dengan pengalaman pekerjaannya.

Sumber :

  1. Kitab Undang Undang Hukum Perdata,
  2. Husni Lalu, SH., M.Hum, Rajawali Pers, 2003
  3. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
  4. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL.

Post a Comment

0 Comments