( makalah ) HUKUM PERBURUHAN

Disusun Oleh :
Muhammad Sodiki 14.50.0021
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
UNISKA BANJARMASIN

Bab I

Pendahuluan

A.    Latar Belakang

Kekomplekan Hukum di Indonesia seharusnya sudah bisa menempatkan tataran hokum ketingkat yang lebih tinggi. Termasuk mengenai peraturan perburuhan. Melihat sekarang begitu maraknya kasus-kasus perburuhan yang merupakan keterlanjutan dari kasus lama yang titik permasalahanya sama, setidaknya menjadi tolak ukur dari sedemikian peraturan yang mengatur hokum perburuhan Indonesia.

B.     Rumusan Masalah

  1. Bagaimana definisi Hukum perburuhan secara etimologi maupun terminology ?
  2. Apa saja yang menjadi sumber dari hokum perburuhan ?
  3. Siapa sajakah pihak yang menjadi ruang lingkup pembahsan dalam hokum perburuhan ?
  4. Bagaimana Perlindungan hukum tenaga kerja di Indonesia maupun di luar negeri ?

C.    Tujuan

  1. Memahami makna hokum perburuhan secara etimologi maupun terminology !
  2. Mengetahui sumber hokum yang dijadikan pedoman dalam pembentukan hokum perburuhan !
  3. Mengetahui subjek-subjek hokum perburuhan!
  4. Memahami konsep/system perlindungan hokum tenaga kerja di Indonesia maupun di luar negeri!
 Bab II

Pembahasan


A.    Definisi Hukum Perburuhan

Hukum perburuhan merupakan hokum tertulis yang sebagian telah dikodifikasikan dalam KUH Sipil dan bagian besar belum dikodifikasikan dan tersebar dalam berbagai peraturan-peraturan, di samping itu masih banyak ketentuan yang tak tertulis. Menurut Prof.Iman Soepomo, S.H dalam bukunya Pengantar Hukum Perburuhan mengemukakan pendapat beberapa ahli mengenai hokum ketenagakerjaan :
  1. Menurut Molenaar
Hukum ketenaga kerjaan adalah bagian dari hukum yang berlaku pada pokok yang mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dengan tenaga kerja dan, antara tenaga kerja dengan penguasa.
  1. Menurut Mr.M.G.Levenbach
Hukum ketenaga kerjaan (arbeidsrecht) adalah hokum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.
  1. Menurut Mr. N.E.H.Van Esveld
Hukum ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan kerja Dimana pekerjaan dilakukan dibawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swa-pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri.
  1. Menurut Pof.Iman Soepomo
Hukum perburuhan adalah himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian Diana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.[1]
Adapun pengertian tenaga kerja menurut UU No.14 tahun 1969 :
“Tenaga kerja ialah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (pasal 1). “ jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa pengertian tenaga kerja ialah orang yang bekerja di dalam maupun di luar hubungan kerja, dengan alat produksi utamanya dalam proses produksi adalah tenaganya sendiri, baik tenaga fisik maupun fikiran. Cirri khas dari hubungan kerja tersebut ialah bekerja di bawah perintah orang lain dengan menerima upah.[2]
      Tiap-tiap Negara memberikan batas umur yang berada. Di Indonesia dipilih batas umur minimum.  Sedangkan di India menggunakan batas umur minimum 10 tahun tanpa batas untuk umur maksium. Lalu sejak tahun 1967 batas umur dinaikan menjadi 16 tahun. Tujuan dari pemilihan batas umur tersebut adalah supaya definisi yang diberikan sedapat mungkin menggambarkan kenyataan yang sebenarnya.  Tiap Negara memilih batas umur yang berbeda karena situasi tenaga kerja di masing-masing Negara berbeda-beda.
Tenaga kerja (manpower ) terdiri dari :
Angkatan kerja :
  1. Golongan yang bekerja.
  2. Golongan yang menganggur / yang sedang mencari pekerjaan
Bukan  Angkatan Kerja :
  1. Golongan yang bersekolah
  2. Golongan yang mengurus rumah tangga
  3. Golongan lain-lain/ penerima pendapatan
Tenaga kerja : angkatan kerja + Bukan angkatan kerja
Angkatan Kerja : Yang Kerja + Pengangguran

B.     Sumber Hukum Perburuhan

  1. Peraturan Perundangan pada masa penjajahan :
    1. KUH Sipil, Buku III Titel 7 A
    2. KUH Dagang, Buku II Titel 4
    3. Algemeen Maatregel van Bestuur tanggal 17 Januari 1938 tentang peraturan perburuhan di perusahaan perkebunan.
    4. Ordonantie tanggal 21 Agustus 1879 yang menyatakan berlaku pasal-pasal 1601-1603 (lama) KUHS terhadap golongan bukan eropa; Ordonantie tanggal 17 September 1941 tentang pemutusan hubungan kerja bagi buruh buka eropa.
    5. Peraturan Perundangan Republik Indonesia dalam bidang hokum perburuhan :
      1. UU No. 33 Tahun 1974, yaitu yang dimaksud dengan buruh ialah orang-orang yang bekerja pada majikan di perusahaan yang mendapatan upah.
      2. UU No.22 Tahun 1948 yaitu UU Kerja merupakan UU pokok soal perlindungan perburuhan.
      3. UU No. 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan
      4. UU No. 21 Tahun 1954 Tentang perjanjian Perburuhan
      5. UU No. 12 Tahun 1964 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
      6. UU No. 12 Tahun 1964 Tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta.
      7. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1953 Tentang Kewajiban melaporkan perusahaan.
      8. Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 1954 Tentang cara membuat dan mengatur perjanjian perburuhan.
      9. Peraturan Menteri Perburuhan No. 9 Tahun 1961 Tentang Penetapan Besarnya uang pesangon, uang jasa.
      10. Keputusan presiden No. 24 Tahun 1953 tentang hari libur.
Sumber hokum ketenaga kerjaan :
–        Materi disebut sumber isi hokum (karena sumber yang menentukan isi hokum) : kesadaran huku masyarakat.
–        Dalam arti formil (tempat Dimana kita dapat menemukan hokum): perundan-undangan, kebiasaan, keputusan, traktak dan perkjanjian.

C.      Para Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan

  1. Buruh / Pekerja
Istilah ini sudah popular dipergunakan mulai dari zaman penjajahan Belanda juga karena peraturan perudang-undangan yang lama (sebelum Bab IX Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagaerjaan ) menggunakan istilah Buruh. Pada zaman itu istilah buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, yang melakukan pekerjaan kasar, orang-orang ini disebut dengan “ Bulle Collar”.  Sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintahan disebut “ Karyawan/Pegawai”(White Collar).[3]
Setelah merdeka kita tidak mengenal lagi perbedaan antara buruh halus dan kasar semua yang bekerja di sector swasta baik pada orang maupun badan hokum disebut buruh. Hal ini disebutkan dalam Undang-undang No.22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan yakni Buruh adalah “ barangsiapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah” (pasal 1 ayat 1 a).
Dalam Undang-undang No.13 Tahun 2002 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 4 memberikan pengertian Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima uoah atau imbalan dalam bentuk apapun.
  1. Pengusaha
Dalam Undang-undang No.22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan disebutkan bahwa Majikan adalah “ Orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh”.
Sehubungan dengan hal tersebut,perundang-undangan yang lahir kemudian seperti Undag-undang No.3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, Undang-undang No.25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan menggunakan istilah Pengusaha. Dalam pasal 1 angka 5 Undang-undang No.13 Tahun 2003 menjelaskan pengertian Pengusaha yakni:
  1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjelaskan suatu perusahaan milik sendiri.
  2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
  3. Orang perseorangan yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud yang berkeduduka di luar wilayah Indonesia.
  4.        Organisasi Pekerja/Buruh
Organisasi ini dimaksudkan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Sebagai implementasi dari amanat ketentuan pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, maka pemerintah telah meratifikasi konvensi Organisasi perburuhan Internasional No.98 dengan Undang-undang No.18 Tahun 1956 mengenai dasar-dasar hak berorganisasi & berunding bersama.
Lalu dalam waktu yang cukup lama, akhirnya pemerintah berhasil menetapkan Undang-undang No.21 Tahun 2000 tentang serikat buruh yang memuat beberapa prinsip dasar yakni:
1.      Jaminan bahwa asetiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh.
2.      Serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas buruh/pekerja tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha.
3.      Serikat buruh/pekerja dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis pekerjaan
4.      Basis utama serikat buruh/pekerja ada di tingkat perusahaan
5.      Serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat buruh yang telah dibentuk memberitahukan secara tertulis pada kantor  Depnaker.
6.      Siapapun dilarang menghalang-halangi pekerja/buruh untuk membentuk/menjadi pengurus/menjadi anggota/tidak semuanya dalam serikat buruh/pekerja.
4.   Organisasi Pengusaha
Melalui Undang-undang No.49 Tahun 1973, Pemerintah membentuk KADIN (Kamar Dagang dan Industri). KADIN adalah wadah bagi pengusaha Indonesia dan bergerak dalam bidang perekonomian. Tujuannya adalah untuk membina dan mengembangkan kemampuan Pengusaha Indonesia di bisang usaha negara dan menciptakan iklim dunia usaha.
Adapun organisasi pengusaha yang khusus mengurusi masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan adalah APINDO. APINDO lahir didasari atas peran dan tanggung jawabnya dalam pembangunan nasional dalam rangka turut serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
5.  Pemerintah/Penguasa
Campur tangan penguasa dalam hukum perbruhan dimaksudkan untuk terciptanya hubungan perburuhan yang adil, karena jika hubungan antara pekerja dan pengusaha yang sangat berbeda secara sosial-ekonomi diserahkan secara sepenuhnya kepada para pihak maka tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hubungan perburuhan akan sulit. Karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai yang lemah.
Adapun beberapa istilah mengenai perburuhan :
–          Buruh : Siapa saja yang bekerja pada majikan dengan menerima upah.
–          Pekerja : Tiap orang yang melakukan pekerjaan, baik dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja yang biasanya disebut buruh bebas.
–          Karyawan: Setiap orang yang melakukan karya/pekerjaan. Misalnya karyawan angkatan Bersenjata.
–          Tenaga Kerja : angkatan kerja yang belum atau sudah terikat oleh hubungan kerja.

D.       Hubungan Kerja

Hubungan Kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja.Dalam pasal 1 angka 15 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.[4]Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu yang buruh mengikatkan dirinya untuk bekerja pada pihak lainya yaitu majikan untuk selama waktu tertentu dengan menerima upah (pasal 1601 a BW/KUH Perdata). Ada 3 unsur yang menentukan adanya hubungan kerja, yaitu:
–          Adanya pekerjaan yang harus dilakukan.
–          Adanya perintah (bekerja atas perintah atasan/pengusaha).
–          Adanya upah.
1.      Syarat-syarat Perjanjian Kerja
Sesuai dengan pasal 1320 KUH Perdata, maka agar setiap perjanjian kerja yang diadakan itu sah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu      (antara buruh/tenaga kerja dan majikan)
b.      Adanya kemampuan/kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian.
c.       Suatu hal tertentu, artinya bahwa isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum maupun kesusilaan.
2.      Bentuk Perjanjian Kerja
Bentuk perjanjian kerja adalah bebas, artinya perjanjian kerja tersebut dapat dibuat secara:
o   Tertulis
o   Lisan / tidak tertulis
Pengecualian : untuk beberapa perjanjian kerja tertentu seperti Perjanjian kerja laut, perjanjian kerja AKAD (Antar Kerja Antar Daerah), dan Perjanjian Kerja AKAN (Antar Kerja Antar Negara), harus dibuat secara tertulis.
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis lebih menjamin adaya kepastian hukum.
3.      Jenis pejanjian kerja
Menurut jenisnya perjanjian kerja dapat dibedakan atas:
a.       Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yaitu perjanjian kerja yang jangka waktu berlakunya ditentukan dalam perjanjian kerja tersebut. Apabila ada PHK sebelum waktu yang ditentukan berakhir maka yang memutuskan harus membayar kerugian selama ia harus menyelesaikan pekerjaannya.
b.      Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertetu yaitu perjanjian kerja yang jangka waktunya tidak disebutkan. Bila ada PHK sebelum waktunya biasanya ada masa percobaan (selama tiga bulan), yang diberitahukan secara tertulis dan kalau tidak diberitahukan secara tertulis maka dianggap tidak ada masa percobaan.
Ada beberapa cara berakhirnya / putusnya hubungan kerja :
1.      Putus demi hukum.
2.      Diputuskan oleh Pengusaha.
3.      Diputuskan oleh pihak Tenaga Kerja.
4.      Karena putusan pengadilan.
4.      Peraturan Perusahaan
Peraturan yang dibuat oleh satu pihak yaitu pengusaha secara tertulis yang memuat ketentuan- ketentuan tentang syrat-syarat dan tata tertib perusahaan. Ketentuan mengenai Peraturan Perusahaan ini diatur dalam peraturan menteri tenaga Kerja trasmigrasi dan koperasi No.Per 02/MEN/1972. Peraturan ini berlaku paling lama 2 tahun sejak disahkan oleh Depnaker. Tujuan dari keharusan pembuatan peraturan perusahaan adalah:
a.       Untuk mengusahakan perbaikan syarat-syarat kerja.
b.      Untuk mempermudah dan mendorong pembuatan KKB (Kesepakatan Kerja Bersama).
5.      Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
KKB adalah kesepakatan yang diadakan antara Serikat Pekerja yang telah terdaftar pada Depnaker dengan pengusaha yang berbadan hukum, yang pada umumnya memuat syarat-syarat kerja yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja. Masa berlakunya paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 1 tahun
6.      Hak dan Kewajiban Buruh
Hak-hak buruh :
o   Meminta pada pimpinan perusahaan tersebut agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan di tempat kerja.
o   Menyatakan keberatan melakukan pekerjaan bila syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat perlindungan diri yang diwajibkan tidak memenuhi persyaratan.
Kewajiban buruh :
o   Melakukan pekerjaan
o   Menaati tata tertib perusahaan
o   Bertindak sebagai buruh yang baik.
7.      Keselamatan dan kesehatan kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja (k3) adalah suatu program yang dibuat bagi pekerja/buruh maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan, bagi timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal hal yang berpotensi menimbulkan kecelakan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja. Tujuan dibuatnya system ini adalah untuk mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan kerja atau penyakit akibat hubungan kerja.

 Perlindungan upah

Problematika perburuhan sepanjang masa tidak pernah selesai, dari masalah perlindungan, pengupahan, kesejahteraan, perselisihan hubungan industrial, pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan. Hal ini lebih diakibatkan kelemahan pemerintah secara sistematik dalam mengimplementasikan undang undang ketenagakerjaan.[5]
Kebijakan penetapan upah minimum dalam rangka perlindungan upah dewasa ini masih menemui banyak kendala sebagai akibat belum terwujudnya satu keseragaman upah, baik secara regional/wilayah propinsi atau kabupaten kota, dan sektor wilayah propinsi atau kabupaten kota, maupun secara nasional.Dalam penetapan upah minimum ini masih terjadi perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada tingkat kemampuan, sifat, dan jenis pekerjaan dimasing masing perusahaan yang kondisinya berbeda beda, masing masing wilayah daerah yang tidak sama. Dengan Undang Undang 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan telah ditetapkan upah minimum berdasarkan hidup layak, dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang meliputi. :
a) upah minimum berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten
b) upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten.
Pada asasnya upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melaksanakan pekerjaan, kecuali apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan karena sakit, waktu haid, melangsungkan pernikahan, menghitankan anak, melahirkan atau gugur kandungan, menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya, menjalankan tugas pendidikan dari perusahaan, dan lain lain.
Dengan Undang Undang No.13 Tahun 2003, tentang ketenagakerjaan, (pasal 88) ditegaskan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam pengertian bahwa jumlah upah yang diterima oleh pekerja/buruh dari hasil pekerjanya mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh beserta pekerjanya secara wajar, antara lain meliputi sandang, pangan papan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
1). Upah satuan waktu dan upah satuan produk
Upah dapat ditentukan menurut satuan waktu (time rates) atau menurut satuan produk yang dihasilkan (piece rates). Upah dalam satuan waktu dapat ditentukan dalam bentuk upah perjam, upah perhari, upah perminggu, upah perbulan atau upah pertahun.
Upah perjam biasanya dipergunakan untuk pelaksanaan kegiatan yang sifatnya tidak lama atau temporer, seperti konsultan, penceramah, penerjemah, tenaga bebas, dan lainlain.Dan upah perjam biasanya dapat dilakukan pekerja/buruh tidak tetap, misalnya pekerja bangunan, buruh pertanian dan perkebunan. Adapun upah perminggu biasanya dilakukan untuk pekerj`an yang sifatnya temporer tetapi perlu dilakukan oleh pekerja/buruh yang sama secara terus menerus dalam beberapa minggu. Misalnya, membuka tanah perkebunan, namun demikian upah perminggu sudah jarang dipergunakan pada saat ini.
Upah perbulan biasanya diperlakukan untuk pekerja yang sifatnya tetap, disamping upah biasanya diberikan juga beberapa tunjangan, seperti tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangn keahlian, dan lain-lain.
Istilah upah biasanya digunakan untuk satuan waktu yang relatif pendek, seperti perjam, perhari, dan per minggu. Sedangkan gaji biasanya mencakup tunjangan tunjangan dan digunakan untuk satuan waktu yang relatif panjang, seperti perbulan, pertahun,
2). Gaji pokok dan tunjangan
Sistem penentuan upah menurut satuan waktu pada umumnya menggunakan pola gaji pokok dan tunjangan.Gaji pokok adalah gaji dasar yang ditetapkan untuk melaksanakan jabatan atau pekerjaan tertentu, pada golongan pangkat dan waktu tertentu.
Sesuai dengan kondisi perusahaan masing masing dan hubungan antara pengusaha dan buruh, pengusaha memberikan beberapa jenis tunjangan antara lain, Tujangan kemahalan, tunjangn jabatan, tunjangan transport, tunjangn perumahan, tunjangan istri atau suami, tunjangan anak, tunjangan asuransi kesehatan, tunjangn hari tua, tunjangan cuti, tunjangan hari keagamaan.dan lain lain.

Jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek)

Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tanggung jawab dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan sosial, ekonomi kepada masyarakat.Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan negara. Indonesia dan Negara berkembang lainnya, mengembangkan jaminan sosial berdasarkan, funded sosial security, yaitu jaminan sosial yang di danai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja/buruh di sektor formal.[6]
Kiprah jamsostek yang mengedepankan kepentingan dan hak normatif tenaga kerja di Indonesia terus berlanjut. Sampai saat ini PT jamsostek (persero) memberikan perlindungan empat program, yang mencakup program jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM),  jaminan hari tua (JHT), dan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK).

E.       Perlindungan hukum tenaga kerja Indonesia di luar negeri

Program penempatan TKI ke luar negeri, merupakan salah satu upaya penanggulangan masalah pengangguran, peranan pemerintah dalam program ini dititikberatkan pada aspek pembinaan, serta perlindungan dan memberikan berbagai kemudahan kepada pihak yang terkait, selain bermanfaat untuk mengurangi tekanan pengangguran, program TKI juga memberikan manfaat lain, yaitu meningkatkan kesejahteraan keluarganya melalui gaji yang diterima atau remitansi. Selain itu, juga meningkatkan keterampilan TKI karena mempunyai pengalaman kerja di luar negeri, bagi negara, manfaat yang diterima adalah peningkatan devisa, karena para TKI tentu memperoleh imbalan dalam bentuk valuta asing.[7]
Dengan disahkan Undang-Undang No.39 Tahun 2004, tentang perlindungan dan penetapan tenaga kerja Indonesia di luar negeri ini, semakin jelas dan nyata kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam mengatur penempatan TKI. Salah satu pasal dalam  undang undang tersebut menyebutkan, Pemeritah pusat berwenang dalam mengatur, membina, melaksanakan, mengawasi, penempatan,serta melindungi TKI di luar negeri.
Penempatan TKI keluar negeri juga mempunyai efek negative dengn adanya kasus kasus yang menimpa TKI, baik sebelum, selama bekerja, maupun saat pulang kedaerah asal, mencuatnya masalah TKI yang bekerja di luar negeri semakin menambah beban persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Baik yang menyangkut ketidak adilan dalam perlakuan pengiriman tenaga kerja, penempatan yang tidak sesuai, standar gaji yang rendah karena tidak sesuai dengan kontrak kerja yang disepakati, kekerasan, pelecehan seksual, dan lain lainnya.
Argumentasi tentang rendahnya tingkat pendidikan TKI yang bekerja di luar negeri seringkali menjadikan nasib TKI kurang menguntungkan, karena menjadi TKI bukan hanya bermodal skill atau keahlian teknis semata tetapi juga pemahaman terhadap budaya masyrakat tempat dimana bekerja merupakan hal yang tidak bias diabaikan begitu saja, pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap penguasan bahasa, akses informasi teknologi, terutama bagi TKI yang bekerja pada lembaga institusi, seperti rumah sakit, restoran, pertokoan, maupun lembaga lain yang menjadikan bahasa sebagai alat komunikasi.
Memang tidak ada yang menjamin bahwa tingkat pendidikan TKI yang tinggi terbebas dari ancaman ketidakamanan, tetapi paling tidak dengal bekal pengetahuan yang dimilikinya akan bias membantu menaikkan bargaining position terhadap kejadian kejadian yang mengancam keamanannya, Di samping itu DPR dan pemerintah secepatnya mengesahkan undang undang penempatan dan perlindungan tenaga kerja di Indonesia, karna selama ini perlindungan pemerintah hanya berupa keputusan menteri tenaga kerja dan transmigrasi No. 104 A/2002 tentang penempatan kerja Indonesia ke luar negeri. Dengan demikian, mereka tidak hanya berbondong bonding ke luar negeri karena terbius oleh bayangan yang menggiurkan saja, Akan tetepi melihat pekerjaan yang aman sebagai modal untuk kehidupan masa depan yang kuat

Perlindungan Negara terhadap TKI

Pemerintah pernah mengadakan rekornas perlindungan TKI pada tanggal 13 juli 2006, melibatkan PJTKI/PPTKIS yang selama ini terbukti menjadi salah satu sumber masalah yang menimpa pekerja/buruh migran.Rekornas menghasilkan reformasi penempatan dan perlindungan pekerja/buruh migran di luar negeri, dengan membentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2-TKI).Dan mengurangi birokrasi penempatan.
Reformasi ini tertuang dalam impress No.6 Tahun 2006. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun secara simbolis meresmikan lounge TKI di terminal II Bandara Soekarno Hatta, pada tanggal 29 Agustus 2006.Persoalan yang muncul dalam kaitannya dengan penempatan TKI di luar negeri bermula dari rendahnya kualifikasi sumber daya yang dipunyai oleh para TKI, sehingga status pekerjaan yang diberikan kepada mereka rata rata merupakan pekerjaan yang diklasifikasikan sebagai pekerjaan rendah dan kasar seperti, pembantu rumah tangga, sopir, buruh kontrak.
Berdasarkan  data tempo (11/3/03) terbukti bahwa kwalitas perlindungan terhadap pekerja/buruh migran Indonesia semakin merosot, buktinya jumlah pekerja/buruh migran yang meninggal tahun 2002 meningkat 400% dari 33 menjadi 177 orang. sistem perlindungan yang ada tidak memiliki kekuatan hukum dan lebih buruk dari ketentuan sebelumnya.Pengurusan tenaga kerja luar negeri masih merupakan wewenang pemerintah pusat, namun demikian belum didukung dengan sumber pembiayaan yang memadai. Perilaku pengguna (majikan) dalam mempekerjakan TKI di luar jangkauan hukum dan pemerintah Indonesia, keterbatasan kewenangan pemerintah RI dalam memberikan perlindungan bagi TKI yang bekerja di tempat dan menurut hukum negara lain, untuk menanggulangi permasalahan diatas hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan status perangkat hukum dalam penempatan tenaga kerja luar negeri.
2. Menjalin kerja sama bilateral dengan Negara negara penerima TKI maupun dengan sesama Negara pengirim
3. Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai proses mekanisme penempatan tenaga kerja keluar negeri guna memperkecil penempatan tenaga kerja ke luar negeri guna memperkecil penempatan TKI tanpa dokumen (illegal) serta pelarian TKI dari tempat kerja.
4. Promosi dan analisis pasar kerja international, serta memanfaatkan pasar kerja formal secara maksimal.
5. Integrasi dankoordinasi pelayanan penempatan berbasis online terutama dengan instansi penentu dokumen TKI didaerah, pusat maupun perwakilan RI diluar negeri.
6. Memberikan perlindungan hukum dan pembelaan hak TKI di dalam dan diluar negeri.
7. Memberdayakan serta melaksanakan rehabilitas fisik, mental, dan sosial bagi TKI yang mengalami musibah.

Bab III

Penutup

A.     Kesimpulan

Dari makalah di atas bisa kita ambil kesimpulan bahwa hukum perburuhan adalah suatu peraturan perundangan yang membahas tentang hubungan antara buruh/pekerja dengan majikannya. Makalah di atas juga menerangkan tentang beberapa sumber hukum yang digunakan dalam hukum perburuhan, pihak-pihak yang terlibat di dalam, aturan tentang bagaimana mengadakan hubungan kerja antara buruh/pekerja dengan majikannya, serta tentang perlindungan upah dan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Indonesia.
Dari malah di atas kita mengetahui bahwa ada 2 sumber hukum perburuhan yaitu berasal dari Peraturan Perundangan pada masa penjajahan dan Peraturan Perundangan Republik Indonesia dalam bidang hukum perburuhan. Lalu disebutkan pula beberapa pihak yang ada di dalamnya yaitu buruh/pekerja, pengusaha, organisasi buruh, organisasi pengusaha, dan penguasa.Hukum perburuhan ini tenyata di atur lebih lengkap di pasal 1 angka 15 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan tujuan untu mengatur dan menjamin kesejahteraan para buruh. Bila kita melihat kenyataan dalam masyarakat sekarang, masih ada beberapa permasalahan antara buruh dengan majikan. Yaitu mengenai pemberian upah, hubungan kerja serta menyagkut kesejahteraan buruh masih perlu diperhatikan lagi. Karena masih adanya kesewenang-wenangan pengusaha/majikan terhadap buruhnya.
Semoga makalah yang ada ditangan para pembaca ini bisa membantu para pembaca dalam memperdalam pemahaman tentang hubungan ketenagakerjaan antara buruh/pekerja dengan majikan/pengusaha. Agar tidak ada / terhindar akan kesewenangan pengusaha dalam memperkerjakan dan memperlakukan buruh.

B.     Saran

Setelah membaca makalah ini di harapkan para pembaca bisa mengerti dan memahami hukum perburuhan dengan mengetahui betul seluk beluk hokum perburuhan. Dan kami harapkan kritik dan saran untuk pemakalah agar kami lebih bermutu dalam penyajian makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

.
–          Asikin, Zaenal dkk. Dasar-dasar Hukum Perburuhan. Jakarta : PT Raja Grafindo  Persada.          1994.
–          Djumialdji,F.X. Perjanjian Kerja edisi revisi. Jakarta : Sinar grafika. Cetakan ke-2, 2006.
–          Husni,Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia edisi revisi. Jakarta : PT Raja               Grafindo  Persada.cetakan ke-4,2003.
–          Kansil,C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : PN Balai Pustaka.      Cetakan ke-5, 1983.
–          Manulang,Sendjun H. Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta : Rineka                           Cipta. Cetakan ke-3, 2001.
–          Soepomo, Imam. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta : Djambatan.1987
–          Soetami,A.Siti. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: Refika Aditama. Cetakan ke-4, 2007.
[1] Imam soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja(Jakarta : Djambatan, 1987), hal 8
[2] Siti Utami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal 4
[3]. Sendjum manulung, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia,( Jakarta : Rineka Cipta, 2001)hal 12
[4] Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : PN Balai Pustaka, 1983),hal 22
[5]Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia edisi revisi. (Jakarta : PT Raja                    Grafindo  Persada, 2003)hal 20

[6]Djumialdji, Perjanjian Kerja edisi revisi. (Jakarta : Sinar grafika, 2006). Hal 14
[7] Zaenal asikin, Dasar-dasar Hukum Perburuhan. (Jakarta : PT Raja Grafindo  Persada. 1994) hal 45

Post a Comment

0 Comments